Tanah adalah Napas Kami: Perlawanan Masyarakat Adat Kais terhadap Proyek Jalan di Tanah Ulayat
NEWS Burmeso– Di jantung Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, sebuah perlawanan damai namun teguh tengah digelorakan. Masyarakat Adat Kais, dengan keberanian yang berakar pada kearifan leluhur, menolak untuk melepaskan sejengkal pun tanah ulayat mereka untuk sebuah proyek jalan. Bagi mereka, tanah bukan sekadar hamparan untuk dibangun, melainkan ibu yang menghidupi, tubuh yang menyangga, dan napas yang mengalirkan kehidupan.
Suara Lantang dari Suku Kaiso: “Tanah Kami Tidak Akan Dilepas!”
Melalui sambungan telepon pada Kamis (11/9/2025), Kepala Suku Kaiso, Melky Bonisau, menyampaikan pesannya dengan jelas dan tanpa keraguan. “Silakan mereka bekerja, silakan buka jalan. Tetapi untuk status tanah adat kami, kami belum bisa melepaskan,” tegasnya. Pernyataan ini bukan sekadar penolakan, melainkan sebuah benteng pertahanan terhadap masa depan.
Bonisau membeberkan alasan mendasar di balik penolakan tersebut. Pelepasan tanah, sekecil apa pun, diibaratkan sebagai pintu masuk bagi investasi yang berpotensi merampas hak-hak adat mereka secara lebih luas. “Kalau kami lepaskan, itu membuka peluang bagi investasi yang akan merampas hak atas tanah adat kami. Jadi, kami tegaskan, tanah kami tidak akan dilepas sejengkal pun,” ujarnya dengan mantap.

Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa bertindak sepihak. “Kami minta Pemerintah tidak bisa buat aturan sendiri lalu memaksa kami mengikuti. Kami masyarakat pemilik hak ulayat juga punya suara,” seru Bonisau. Solusi yang ditawarkan adalah dialog yang setara. “Harus ada pembicaraan yang baik dulu antara pemerintah dan masyarakat Kais.”
Tanah: Sumber Hidup yang Hidup dan Bernyawa
Dalam tuturannya, Melky Bonisau menggambarkan hubungan spiritual dan kultural yang mendalam antara masyarakat Kais dan tanahnya. “Tanah bagi orang Kais bukan sekadar lahan kosong. Tanah adalah sumber hidup, bahkan bagian dari tubuh dan napas mereka,” jelasnya. Filsafat hidup ini menempatkan tanah sebagai entitas yang hidup dan suci, bukan komoditas mati yang bisa diperjualbelikan.
“Tanah tidak pernah busuk, malah semakin subur,” katanya, sebuah metafora tentang keabadian dan kemurahan hati tanah yang memberikan kehidupan turun-temurun.
Proyek jalan yang akan membelah tanah mereka bukan dilihat sebagai kemajuan, melainkan sebagai ancaman eksistensial. “Kalau jalan dibuka dengan cara paksa, sama saja dengan mengeruk isi perut kami. Itu berarti sagu kami dihancurkan, padahal sagu adalah makanan sehari-hari kami,” ujar Bonisau. Penghancuran kebun sagu, yang merupakan tulang punggung pangan dan budaya mereka, sama dengan merusak fondasi kehidupan mereka.
Perlawanan Nyata: Dari Pemalangan Hingga Simbol Penolakan
Penolakan ini tidak hanya disuarakan, tetapi juga diwujudkan dalam aksi nyata. Masyarakat Kais telah memasang palang (pemblokade) adat, baliho, dan simbol-simbol penolakan lainnya di jalur yang akan dibangun, termasuk di depan areal perusahaan. “Itu tanda bahwa kami menolak dengan tegas,” tegas Bonisau.
Aksi ini adalah bentuk perlawanan yang sah menurut hukum adat mereka, sebuah pernyataan bahwa izin tidak pernah diberikan. Masyarakat masih menunggu pelaksanaan Musyawarah Besar (Musda) keluarga besar suku Kaiso untuk mengambil keputusan final dan strategi lebih lanjut.
Lima Marga Penjaga Ulayat dan Dukungan dari Generasi Muda
Perjuangan ini didukung oleh seluruh struktur masyarakat adat. Melky Bonisau menyebutkan lima marga besar pemilik hak ulayat di kawasan rencana proyek tersebut: Marga Saimar Suse, Marga Kaitau, Marga Bonisau, Marga Bandi, dan Marga Rariaro. “Semua marga ini punya hak ulayat… Jadi keputusan tidak bisa diambil sepihak, harus dibicarakan bersama,” katanya.
Dukungan juga datang dari generasi muda. Tokoh Pemuda, Ferry Onim, dengan lantang mendukung pemasangan palang adat di Jalan Lintas Utama dari Muswaren ke Kais, Bedare, hingga Odeari Kokoda. “Karena hak adat masing-masing harus saling dihormati,” kata Onim.
Ia membantah klaim pemerintah bahwa proyek dibangun di atas “tanah kosong”. “Seluruh tanah yang ada adalah bagian dari wilayah adat dan tidak ada lahan kosong yang dihibahkan begitu saja kepada kepentingan pemerintah daerah,” tegasnya. Onim mengingatkan, “Tidak pernah ada sejarah pemetaan wilayah tanpa melibatkan pemilik tanah adat. Jadi jangan coba-coba.”
Peringatan Keras untuk Pemerintah dan Investor
Onim menyoroti praktik licik yang sering terjadi: lobi-lobi gelap antara pemerintah daerah dengan investor yang mengabaikan kehadiran masyarakat adat. “Pemda Sorong Selatan jangan sewenang-wenang mau lobi investasi lalu taruh di wilayah adat kami tanpa koordinasi. Kalau itu terjadi, kami tidak akan diam. Kami akan lawan, karena itu sama saja dengan merampok wilayah adat kami,” ujarnya dengan nada peringatan.
Ia bahkan menyampaikan solusi yang sarkastik namun penuh makna: “Kalau mau lobi investasi, silakan taruh di wilayah adatmu sendiri. Jangan korbankan kami sesama masyarakat adat.”
Perlawanan ini akan dilakukan secara kolektif dan terorganisir. “Kami akan kawal ini bersama tokoh-tokoh adat dan lembaga adat kami. Bila perlu kami akan layangkan somasi jika pemerintah dan investor sudah keterlaluan,” pungkas Onim.
Sebuah Palang di Jalan, Sebuah Tanda Tanya bagi Pembangunan
Perlawanan Masyarakat Adat Kais adalah cerminan dari konflik agraria yang lebih luas di Tanah Papua dan seluruh Nusantara. Ini adalah pertarungan antara dua paradigma: pembangunan yang seringkali diartikan secara sempit sebagai fisik dan ekonomi, versus pembangunan yang menghormati hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan, dan kelestarian budaya.
Palang yang dipasang di jalan Muswaren bukan sekadar penghalang fisik, melainkan sebuah pertanyaan besar bagi pemerintah: Akankah pembangunan dibangun di atas penderitaan dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat pertama yang menghuni tanah itu? Jawabannya hanya dapat ditemukan melalui meja musyawarah yang adil, yang menghormati martabat, suara, dan kedaulatan Masyarakat Adat Kais atas tanah leluhur mereka.







